Friday, January 10, 2014

Harapan: Soppeng sebagai kota Budaya dan Wisata

Kabupaten Soppeng merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Ibukotanya Watan Soppeng atau disebut juga kota kalong/kelelawar. ada sekian mitos yang berkembang bahwa keberadaan kalong ini yang jumlahnya ratusan hingga ribuan ini, bertengger di pohon-pohon taman kota dengan suara berisik yang khas.
Keberadaan kalong di jantung Kota Watansoppeng, semakin menambah pesona kota ini, karena ibukota Watansoppeng dijuluki sebagai kota kalong. Uniknya kalong ini hanya mau berdiam dan bergelantungan di pepohonan sepanjang kota Watansoppeng. Menjelang matahari tenggelam di ufuk Barat, kalong ini beterbangan mencari makanan dan menjelang matahari terbit seiring dengan gema suara azan subuh, kalong ini kembali ke tempatnya dengan suara yang   khas dan berisik seakan membangunkan masyarakat kota Watansoppeng untuk memulai aktifitasnya. 
Pemandian Air Panas Lejja merupakan salah satu obyek wisata andalan yang banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik dan manca negara. Pemandian ini berada dalam kawasan hutan lindung yang berbukit dengan panorama alam yang indah, sejuk, nyaman di Desa Bulue, Kecamatan Marioriawa, sekitar 44 km sebelah Utara Kota yang dapat menyembuhkan penyakit rematik dan gatal-gatal.





Obyek wisata ini dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai seperti air bersih, listrik, areal parkir, jalan beraspal, guest house, Kolam berendam, lapangan tenis dan baruga wisata untuk pertemuan dengan daya tampung 300 orang.

Pemandian Alam Ompo 

merupakan salah satu tujuan wisata andalan pula. Pemandian yang tertetak di Kelurahan Ompo Kecamatan Lalabata, sekitar 3 km sebelah Utara kota Watansoppeng dikenal dengan airnya yang jernih,dingin dan menjadi sumber air bersih masyarakat kota serta diolah menjadi air mineral oleh sebuah perusahaan swasta nasional.
Dalam kawasan obyek wisata Ompo ini, terdapat areal yang luas untuk perkemahan dan Motor Cross dan juga terdapat sebuah danau buatan yang cukup luas sebagai areal bermain perahu dan memancing ikan air tawar.
Pemandian Alam Citta terletak di Jantung Desa Citta Kecamatan Liliriaja, sekitar 35 km sebelah Timur kota Watansoppeng dan sekitar 15 km dari Cangadi, Ibukota Kecamatan. Di obyek ini, pengunjung dapat berenang dan menikmati keindahan panorama alam, perkampungan dan berbagai aktivitas masyarakat sekitarnya seperti pengolahan tembakau secara tradisionil.

Villa Yuliana

merupakan salah satu bangunan peninggalan Belanda di Kabupaten Soppeng, bangunan ini terletak dijantung kota Watansoppeng dibangun oleh C.A.Krosen tahun 1905 selaku Gubernur Pemerintahan Hindia-Belanda di Sulawesi.
Konstruksi dan arsitektur bangunan ini merupakan perpaduan gaya Eropa dan gaya Bugis. Vila ini merupakan bangunan kembar, satu diantaranya ada di Nederland, pembangunan Villa ini merupakan wujud kecintaan terhadap Ratu Yuliana.




Rumah Adat Sao Mario 

terletak di Kelurahan Manorang Salo Kecamatan Marioriawa, sekitar 30 km dari kota Watansoppeng. Di dalam kompleks Rumah Adat Sao Mario ini, terdapat berbagai jenis Rumah Adat yang bergaya Arsitektur Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Minangkabau dan Batak.
Rumah adat ini juga berfungsi sebagai museum dengan koleksi berbagai jenis barang antik yang bernilai tinggi dari berbagai daerah di Indonesia dan Luar Negeri seperti: Kursi, Meja, Tempat Tidur, Senjata Tajam dan berbagai macarn batu permata.




Kompleks Istana Datu Soppeng 

terletak di jantung kota Watansoppeng berhadapan dengan Villa Yuliana yang dibangun sekitar tahun 1261 pada masa Pemerintahan Raja Soppeng I Latemmala bergelar Petta Bakkae.
Dalam kompleks tersebut terdapat bangunan, antara lain Bola Ridie (Rumah Kuning), yang berfungsi untuk menyimpan berbagai jenis atribut kerajaan, Salassae, berfungsi sebagai Istana Data Soppeng, Menhir Latammapole sebagai tempat menjalani hukuman bagi orang yang melanggar adat dengan cara mengelilingi 7 kali.


Makam Jera Lompo 

adalah makam Datu/Raja-Raja Soppeng, Luwu dan Sidenreng dari Abad XVII. Makam ini terletak di Kelurahan Bila Kecamatan Lalabata sekitar 1 km sebelah Utara kota Watansoppeng. Melihat bentuk, type orientasi dan data historis makam ini dapat dikatakan bahwa makam Islam sekitar Abad XVII, namun dilihat dari bentuk nisannya terdapat pengaruh kebudayaan Hindu.

Pengaruh Modernisasi : Memudarnya Bendi

‘’Pada hari Minggu kuturut Ayah ke kota 
Naik delman istimewa kududuk di muka 
Kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja 
Mengendalikan kuda supaya baik jalannya 
Tak tik tak tik tuk bunyi sepatu kuda…….’’

Cerita Rakyat Soppeng: Nenek Pakande..!!

Di Sulawesi Selatan, kisah Nenek Pakande dikenal sebagai cerita rakyat yang sudah melegenda. Cerita rakyat ini disampaikan secara turun temurun oleh masyarakat melalui tradisi lisan. Setelah zaman internet, blog Cerita Rakyat Indonesia menyampaikan cerita rakyat berjudul Nenek Pakande, Siluman Pemangsa Manusia ini melalui tradisi tulisan. Cerita rakyat ini mengisahkan tentang seorang siluman tua yang suka memakan bayi dan anak-anak. Ketika sampai di daerah Soppeng dan memangsa tiga bocah cilik, warga mengerjai Nenek Pakande dengan memanggil Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. 

Bagaimana cerita rakyat ini selengkapnya?

***




Rumah Adat Soppeng

 Tiap Provinsi di Indonesia masing-masing memiliki rumah adatnya tersendiri, rumah adat ini merupakan ciri khas tiap suku daerah dari tiap daerah, ini merupakan salah satu bukti nyata bahwa kebudayan Indonesia itu sungguh beraneka ragam. Namun walaupun berbeda bukan berarti terpecah belah tetapi justru ini sebagai suatu kesatuan yang kokoh dengan keanekaraman suku adat budaya masyarakat Indonesia. 


  Sao Mario


Sejarah Lahirnya Soppeng

Hari Ulang Tahun Kab. Soppeng sebelumnya ditetapkan pada 13 Maret 1957 yang bertumpu pada keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1954 tentang pembentukan Daerah Otonom Bone, Wajo dan Soppeng di pandang menyimpang dari obyektivitas sejarah. Oleh karena itu sejumlah cendekiawan melakukan usun rembuk kajian sejarah yang makin dipertajam. Kesimpulan yang dihasilkan, hari ulang tahun Kab. Soppeng mesti merangkai benang merah masa lalu dengan perhitungan pelantikan LATEMMALA MANURUNG’E RI SEKKANYILIK yang menjadi Raja pertama Kab. Soppeng pada tahun 1261. Ikhwal penetapan tanggal dan bulan ditarik dari saat-saat yang memiliki makna tertentu, penetapan tanggal 23 dimaksudkan sebagai “Dua Tellu” yang berarti beberapa orang yang memiliki kebersamaan persatuan dan kesatuan (tidak sendirian). Adapun momentum bulan Maret sebagai pelantikan Bupati yang pertama sepanjang sejarah berdirinya Kabupaten Soppeng.


SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN SOPPENG

Soppeng adalah sebuah kota kecil dimana dlm buku-buku lontara terdapat catatan tentang raja-raja yg pernah memerintah sampai berahirnya status daerah Swapraja, satu hal menarik sekali dalam lontara tsb bahwa jauh sebelum terbentuknya kerajaan Soppeng, telah ada kekuasaan yg mengatur daerah Soppeng, yaitu sebuah pemerintahan berbentuk demokrasi karena berdasar atas kesepakatan 60 pemukan masyarakat, namun saat itu Soppeng masih merupakan daerah yang terpecah-pecah sebagai suatu kerajaan2 kecil. Hal ini dapat dilihat dari jumlah Arung,Sulewatang, dan Paddanreng serta Pabbicara yang mempunyai kekuasaan tersendiri. Setelah kerajaan Soppeng terbentuk maka dikoordinir oleh Lili-lili yang kemudian disebut Distrikvdi Zaman Pemerintahan Belanda.


Literatur yang ditulis tentang sejarah Soppeng masih sangat sedikit. Sebagaimana tentang daerah-daerah di Limae Ajattappareng, juga Mandar dan Toraja, Soppeng hanyalah daerah “kecil” dan mungkin “kurang signifikan” untuk diperebutkan oleh dominasi dua kekuatan di Sulawesi Selatan yakni Luwu dan Siang sebelum abad ke-16. Namun demikian, seperti disebutkan oleh sebuah kronik Soppeng, dulunya Soppeng bersama Wajo, sangat bergantung kepada kerajaan Luwu.

Seiring menguatnya kekuatan persekutuan Goa-Tallo di Makassar; untuk mengimbanginya, Bone sempat mengajak Wajo dan Soppeng membentuk persekutuan Tellumpocco pada perjanjian Timurung tahun 1582. Akan tetapi, masuknya Islam di Sulawesi Selatan di paruh akhir abad ke-16, ditandai dengan masuknya Karaeng Tallo I Mallingkang yang lebih dikenal sebagai Karaeng Matoaya serta penguasa Goa I Manga’rangi yang kemudian bergelar Sultan Alauddin, telah merubah peta politik di Sulawesi Selatan. Untuk sementara, kekuatan Bugis Makassar menjadi satu kekuatan baru untuk melawan orang kafir ketika Soppeng dan Sidenreng memeluk Islam tahun 1609, Wajo 1610 dan akhirnya Bone pada tahun 1611.

Perkembangan berikutnya sepanjang abad ke-17, menempatkan Soppeng pada beberapa perubahan keputusan politik ketika persaingan Bone dan Goa semakin menguat. Jauh sebelum perjanjian Timurung yang melahirkan persekutuan Tellumpocco, sebenarnya Soppeng sudah berada di pihak kerajaan Goa dan terikat dengan perjanjian Lamogo antara Goa dan Soppeng. Persekutuan Tellumpocco sendiri lahir atas “restu” Goa. Namun, ketika terjadi gejolak politik antara Bugis dan Makassar disebabkan oleh gerakan yang dipelopori oleh Arung Palakka dari Bone, Soppeng sempat terpecah dua ketika Datu Soppeng, Arung Mampu, dan Arung Bila bersekutu dengan Bone pada tahun 1660 sementara sebagian besar bangsawan Soppeng yang lain menolak perjanjian di atas rakit di Atappang itu.

***

ITULAH cuplikan kecil sejarah Soppeng di abad 16-17 yang terekam di dalam beberapa literatur penting. Sayangnya, walaupun buku kecil ini memuat subyek sejarah di judul kecilnya, alur fragmen penting sejarah Soppeng, minimal rangkumannya, tidak disentuh sama sekali kecuali kutipan Lontara Soppeng yang menuliskan silsilah raja-raja Soppeng mulai dari La Temmamala ManurungngE ri Sekkannyili yang menjadi raja pertama di sekitar tahun 1300 sampai raja-raja Soppeng berikutnya yang berakhir di tahun 1957 serta beberapa catatan kecil lainnya.

Namun, ada beberapa hal unik yang diceritakan di dalam di buku ini. Sebagaimana sejarah Sulawesi Selatan pada umumnya, proses terbentuknya komunitas masyarakat di Soppeng juga menyerupai daerah-daerah lainnya. Dimulai dari masa sianre balei tauwe sampai masatomanurung, Lontara Soppeng juga memulai catatannya dengan cara sama, bahwa komunitas “resmi” orang Soppeng adalah ketika Matoa Ujung, Matoa Botto dan Matoa Bila bersama ketua persekutuan lainnya melantik tomanurung sebagai raja.

Menurut kronik ini, daerah Soppeng sebenarnya adalah daerah urban. Penduduk asli yang mendiami daerah ini semula berasal dari dua tempat, Sewo dan Gattareng. Kedua kelompok ini meninggalkan daerahnya masing-masing dan hidup berdampingan di Soppeng, kelompok yang datang dari daerah Sewo disebut orang Soppeng Riaja, dan kelompok yang berasal dari Gattareng disebut orang Soppeng Rilau. Mereka kemudian dipimpin oleh kepala-kepala persekutuan di kedua daerah masing-masing yang jumlahnya enam puluh orang pada waktu itu.

Belakangan, muncul seorang tomanurung di Sekkannyilli (wilayah Soppeng Riaja). Ketua-ketua persekutuan Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau kemudian sepakat untuk mengangkat tomanurung tersebut sebagai raja. Sayangnya, ManurungngE ri Sekkannyili “menolak” penunjukan tersebut kecuali dengan tiga syarat: tidak dikhianati, tidak disekutukan, dan mengangkat sepupu sekalinya yang juga tomanurung di Libureng (wilayah Soppeng Rilau) sebagai raja di Soppeng Rilau. Dan begitulah, wilayah Soppeng pertama kali dipimpin oleh dua raja “kembar” tomanurung melalui pembagian wilayah kekuasaan. Selanjutnya, setelah kematian kedua raja ini, keturunan merekalah berdua yang silih berganti melanjutkan pemerintahan dengan menggabungkan wilayah Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau ke dalam satu wilayah kekuasaan yang kemudian disebut Soppeng saja.

Hal unik lain dalam buku ini adalah pesan-pesan Arung Bila, sosok yang sangat dikenal melalui cerita-cerita rakyat dan di dalam berbagai kronik di Sulawesi Selatan khususnya lontara-lontara di Soppeng. Bahkan, buah pikiran Arung Bila sempat dimuat di dalam buku Dr. B.F. Mathes Boegineshe Christomathie yang diterbitkan di Amsterdam tahun 1872. Arung Bila diakui sebagai tomaccana to Soppeng (orang pintarnya Soppeng). Pikiran-pikiran Arung Bila telah mewarisi masyarakat Soppeng tata pemerintahan dan tata masyarakat yang beradab.

Namun siapakah Arung Bila yang dimaksud, belum ada yang bisa memastikan karena banyaknya bangsawan yang bernama Arung Bila di dalam sejarah kerajaan Soppeng. Riwayatnyapun tidak ada yang ditulis di dalam lontara. Beberapa sejarawan daerah mengatakan bahwa yang dimaksud Arung Bila di dalam kronik-kronik yang menuliskan ajaran-ajarannya adalah “La Maniaga”, namun ada pula yang mengatakan bahwa “La Taweng” atau “La Wadeng”. Dan membaca ajaran-ajarannya, sepertinya Arung Bila ini juga bukanlah bangsawan Soppeng yang mengambil keputusan politis untuk bersekutu dengan Bone pada tahun 1660 seperti dalam kutipan di atas.

Namun, lepas dari ketidakjelasan identitasnya, Arung Bila tomaccana to Soppeng sudah menjadi sumber tradisi yang kokoh bagi masyarakat Soppeng maupun masyarakat Sulawesi Barat dan Selatan pada umumnya. Ajaran-ajarannya tentang pangadereng (perihal adat istiadat) bukan hanya menyangkut tata pemerintahan dan hubungan antara raja dan rakyat, tetapi juga hubungan sesama anggota masyarakat, hubungan anak dan orang tua, bahkan hubungan antara suami dan istri.

Sekilas Tentang Soppeng


Kota Soppeng disebut Kota Kalong Wattang Soppeng dimana-mana ditemukan kalong atau kelelawar, Sopp
eng juga sebagai kota wisata dapat ditemukan beberapa Obyek bersejarah (Villa Yuliana, Istana Datu Soppeng, Makam Jera Lompoe) , Budaya (Rumah Adat Sao Mario, Pusat Sutra Alam Tajuncu) ,  permandian alam (Air panas Lejja, Ompo, Citta).
Ciri khas Pusat Kota Soppeng yaitu terdengar bunyi gemuruh kalong-kalong/ kelelawar saat  petang menjelang malam, beterbangan menutupi langit Kota Soppeng meninggalkan sarangnya di pepohonan tengah kota dan Pada subuh menjelang pagi, kalong-kalong itu pun kembali ke sarangnya dengan suaranya yang tetap ingar-bingar, seakan membangunkan warga sekitar untuk segera memulai aktivitasnya..

Kabupaten yang ibukotanya terletak 179 km sebelah utara Makassar ini banyak meninggalkan jejak dalam benak saya.
Hawa sejuk menyegarkan senantiasa dibawa angin di daerah yang terletak pada ketinggian bervariasi (100 – 200 meter di atas permukaan laut) ini. Permukaannya yang tak rata menyebabkan hamparan sawah, gunung, sungai, dan alamnya yang hijau terlihat sangat indah
Cobalah berbincang dengan penduduknya yang ramah. Sehari-harinya mereka memang berbahasa Bugis dengan alunan khas nan lembut tetapi mereka bisa berbahasa Indonesia dengan baik.Kelelawar yang lazim disebut kalong menjadi warna khas ibukotanya – Watansoppeng. 

Selama bertahun-tahun setiap hari saat menjelang subuh ribuan kalong melintasi langit Soppeng untuk menempati pohon-pohon besar di kota ini. Kalong-kalong itu beristirahat – menggelantung di dahan-dahan pepohonan hingga menjelang maghrib untuk kemudian beramai-ramai meninggalkan kota itu entah ke mana guna mencari makan. Secara fisik, ukuran tubuh spesies binatang ini lebih besar ketimbang kelelawar yang biasa menghuni gedung-gedung tua, warnanya pun hitam
Paket Wisata Untuk Turis Mancanegara

Melihat potensi pariwisata Soppeng, kiranya masuk akal jika wilayah ini merupakan salah satu daerah utama tujuan wisata mancanegara di samping Tana Toraja. Jika sarana dan prasarananya belum siap, mengapa tidak dimasukkan sebagai ‘paket wisata’ bagi para turis tujuan Toraja?
Dengan berkendara bis dari Makassar, Soppeng bisa dilalui. Mereka bisa turun sejenak menikmati alam Soppeng dengan segala kekhasannya.

Perjalanan menuju Soppeng pun sesungguhnya bisa dinikmati. Melalui Camba (di kabupaten Maros) misalnya. Kelok-kelok jalan yang dilalui menyuguhkan keindahan orisinil nan segar. Ataupun jika melalui Bulu’ Dua (kabupaten Barru), pesona keindahan alamnya yang sejuk pun tak kalah indahnya.


  • Suku bangsa 

    Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Duri, Pattinjo, Bone, Maroangin, Endekan, Pattae danKajang/Konjo
  • Bahasa 

    Bahasa yang umum digunakan adalah : 
    • Bahasa Makassar adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Makassar dan Sekitarnya.
    • Bahasa Bugis adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Bone sampai ke Kabupaten Pinrang, Sinjai, Barru, Pangkep, Maros, Kota Pare Pare, Sidrap, Wajo, Soppeng Sampai di daerah Enrekang, bahasa ini adalah bahasa yang paling banyak di pakai oleh masyarakat Sulawesi Selatan.
    • Bahasa Pettae adalah salah satu bahasa yang dipertuturkan di daerah Tana Luwu, mulai dari Siwa,Kabupaten Wajo, Enrekang Duri, sampai ke Kolaka Utara,Sulawesi Tenggara.
    • Toraja adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Kabupaten Tana Toraja dan sekitarnya.
    • Bahasa Mandar adalah bahasa suku Mandar, yang tinggal di provinsi Sulawesi Barat, tepatnya di Kabupaten Mamuju, Polewali Mandar, Majene dan Mamuju Utara. Di samping di wilayah-wilayah inti suku ini, mereka juga tersebar di pesisir Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
    • Bahasa Duriadalah salah satu rumpun bahasa Austronesia di Sulawesi Selatan yang masuk dalam kelompok dialek Massenrempulu. Di antara kelompok Bahasa Massenremplu, Bahasa Duri memilki kedekatan dengan bahasa Toraja dan bahasa Tae' Luwu. Penuturnya tersebar di wilayah utara Gunung Bambapuang, Kabupaten Enrekang sampai wilayah perbatasan Tana Toraja.
    • Bahasa Konjo terbagi menjadi dua yaitu Bahasa Konjo pesisir dan Bahasa Konjo Pegunungan, Konjo Pesisir tinggal di kawasan pesisir Bulukumba dan Sekitarnya, di sudut tenggara bagian selatan pulau Sulawesi sedangkan Konjo pegunungan tinggal di kawasan tenggara gunung Bawakaraeng.
  • Agama 

    Mayoritas beragama Islam, kecuali di Kabupaten Tana Toraja dan sebagian wilayah lainnya beragama Kristen.
  • Budaya dan Adat Istiadat 

    Salah satu kebiasaan yang cukup dikenal di Sulawesi Selatan adalah Mappalili. Mappalili (Bugis) atau Appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang memiliki makna untuk menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan mengganggu atau menghancurkannya. Mappalili atau Appalili adalah ritual turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Sulawesi Selatan, masyarakat dari Kabupaten Pangkep terutama Mappalili adalah bagian dari budaya yang sudah diselenggarakan sejak beberapa tahun lalu. Mappalili adalah tanda untuk mulai menanam padi. Tujuannya adalah untuk daerah kosong yang akan ditanam, disalipuri (Bugis) atau dilebbu (Makassar) atau disimpan dari gangguan yang biasanya mengurangi produksi.
  • Jumlah penduduk

    Sampai dengan Mei 2010, jumlah penduduk di Sulawesi Selatan terdaftar sebanyak 8.032.551 jiwa dengan pembagian 3.921.543 orang laki-laki dan 4.111.008 orang perempuan.